BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Sirgina Firdaus

express themselves with a short story

Selasa, 19 Oktober 2010

Maumu apa SEH ?

Mantan oh Mantan.
Aku pengen balikan, akusukakamusekarang
Haha, emang telat. Tapi aku usaha donk !

Apalagi katanya kamu MASIH sayang.
Tapi berhubung saya tidak bisa pacaran, maka kita HTS.

Dua hari ini, kamu ANEH.
Kenapa seh ?
Basa mu sengak, sms gak dibales.

Aku kan udah bilang aku serius.
Tapi kamu GAK NGERTI JUGA !

Kalo kamu MUNDUR.
Aku MENJAUH

Kamu itu mangkelno.
Itu yang namanya SAYANG ? SETIA ? APik !
 

Minggu, 17 Oktober 2010

Perhatian !

Hei kamu, iya kamu COWOK ! :)

Maaf aku sering bandingin kamu sama DIA --MANTAN--

Lah kamu jadi cowok HAMBAR sekali.

Pengen punya cowok yg :

-Agresif (dalam klise BAIK)
  *Dalam arti mau & berani nyamperin. Woo *sosweet wkwk. Kamu mau nyamperin MANTAN mu, tapi aku gak. OOH kejam. >,<
  *Bahasanya gak dibuat-buat. *jowo yo jowo ae. Lebih asik jowo an !! :D

Apa lagi ya ?

Pengen gitu diajak jalan bareng. wahahaha pastine canggung, tapi kan ASEEEK. :)

Dan kalo ngomong gak garing ato ngacang. *Woo gak seru ah,.

Kalo ngeliat mbak mas ku pacaran ? IRI nya.

Seru gitu pacaran ne -,-

Pegang tangan ato lainnya ? hahahaha *sing penting wajar !!

Berpacaran dalam batas kewajaran  ? WHY NOT !

Can you do it ??

Masalah status ? Not now, tapi itu PASTI.

Selama kamu juga gak HAMBAR.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Sekedar Curhat !

Hallo Semua !

Udah lama nih aku gak posting entri dan udah lama juga aku gak buat cerpen.
Rutinitas ku yang sekarang, buat aku jadi SERBA SIBUK !

Ya, sekarang aku udah kelas 9 SMP, beranjak menuju SMA.
Duh, gak kerasa deh udah mau SMA.

Emang bener deh, masa menanti kelulusan sekolah itu SANGAT SIBUK !!!
Gak SD, SMP, ato SMA menurutku kesibukannya sama.
Gak jauh dari bimbingan belajar dan segala macam buku soal.

Sekarang mumpung ada sedikit waktu senggang aku posting entri.
Intinya sih aku kangen POST ENTRI and BUAT CERPEN.

Semoga dalam waktu dekat aku bisa buat cerpen :)

Ohya, mungkin juga dalam waktu dekat blog ini bakalan ke isi sama curhatan ala REMAJA CEWEK.

See you blogger ;)

Rabu, 07 Juli 2010

Pengutil Cinta --> 1

“Hei kamu ! Babu aja gaya nya selangit.” Maki Diana.
“Maaf Bu, saya tak sengaja.” Kata si pembantu, menunduk.
“Kamu itu dibayar buat kerja bener ! bukan buat bikin kesalahan ! Rugi donk saya nge bayar kamu. Jangan panggil saya Bu, saya masih mudah dan lajang.” Makian Diana semakin menyakitkan hati.
“I.. Iya maafkan saya Non.” Ucap Bik Jah, masih menunduk.
“Maaf maaf. Sudah bersihkan semua ini ! sekali lagi kamu buat kesalahan. Kamu saya Pecat !” perintah Diana, menunjuk ke lantai dengan pecahan gelas yang berserakan.
“Baik Non.” Bik Jah menurut.
Diana. Seorang wanita karier yang bekerja di Perusahaan ternama industri Perminyakan, sampai saat ini masih melajang. Sifat keras kepala dan sombong lah yang membuatnya tak disegani para kaum adam. Angkuh dan keegoisan Diana tatkala sering merugikan orang lain. Ntah apa yang ada dibenaknya, bahkan ia pun tak peduli perihal orang sekitar. Termasuk keluarga nya.
Diana bukan wanita biasa. Tubuh yang porprosional dan paras cantiknya selalu memikat kaum adam. Namun, semuanya pergi menjauh tatkala Ia bersikap kasar. Hingga suatu ketika Diana bertemu dengan seorang lelaki, sahabat temannya.

“Perkenalkan, saya Arif.” Kata lelaki itu, menjabat tangan Diana.
“Oh. Saya Diana.” Balas Diana, tersenyum.
“Panggil mbak atau bu ?” Tanya Arif.
“Mbak aja. Dan bagaimana saya harus memanggil anda ?” Tanya Diana, sopan.
“Mas saja, Mbak Diana.” Jawab Arif. Keduanya tertawa.
“Mas Arif kerja dimana?” Tanya Diana menyelidik.
“Saya bekerja sebagai abdi Negara. Kalo mbak Diana? ” Jawab Arif dengan bangganya.
“Wah, Polisi atau TNI ? saya sebagai Manager salah satu Industri perminyakan.” Kata Diana, sama bangganya.
“TNI mbak. Wah kalau begitu gaji yang didapat tentu saja besar?” Tanya Arif, kagum.
“Ah, tidak seperti itu juga mas. Mas Arif juga tentu berpenghasilan besar juga bukan ?” tanya Diana.
“Ya begitulah. Yang penting cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Jawab Arif.
“Oh ya. Ngomong-ngomong Mas Arif masi Jaka atau Duda? Maaf mas sebelumnya.” Tanya Diana, tertarik.
“Gak apa-apa Mbak Diana. Jelas saya masih Jaka. Memang ada wajah-wajah duda? Mbak Diana sendiri bagaimana ?” tanya Arif.
“Oh. Enggak juga sih. Tapi masak cakep ginigak ada yang mau? Hehe. Status saya juga sama dengan Mas Arif.” Tutur Diana.

Dan seterusnya, keduanya masih antusias menanyakan berbagai macam info dan asal usul masing-masing. Diana tertarik dengan Arif, bukan dari segi wajah melainkan pekerjaan yang bisa dibanggakan kelak ketika ia sudah berumah tangga. Masalah uang tak masalah bagi Diana, yang paling penting Ia dihormati setiap orang.
Di lain sisi, Arif. Sebenarnya bukan seorang Perjaka. Ia sudah memiliki 2 orang buah hati sejak 1 tahun silam. Namun 1 tahun yang lalu, ia baru saja berpisah dengan istrinya. Bukan Arif memang yang menceraikan sang istri, sebaliknya. Alasan mantan istri Arif menceraikan Arif ialah sikap Arif kasar, suka main tangan, keegoisan yang mencelakai orang lain dan mengabaikan kewajibannya baik sebagai seorang Bapak dan suami. Memang, tak jauh beda dengan Diana. Arif juga tergolong bersifat Egois, sombong, dan terlebih lagi suka bersikap kasar pada keluarga.
Walau sesungguhnya Arif orang yang tegas dan taat peraturan, di tempat kerja nya pun jarang ada orang yang segan dengannya. Itu tadi, sifat Arif yang egois dan sombong membuat rekan kerja enggan bekerja sama dengannya. Namun walau begitu, Arif masih bertindak seenaknya, karna dia merasa berkedudukan tinggi.

“Mas Arif lagi dimana ? bisa makan siang bareng?” tanya Diana di telfon.
“Di kantor mbak Diana. Boleh, makan di tempat biasa kah Mbak ?” tanya Arif.
“Iya deh mas. 30 menit lagi saya sampai.” Kata Diana.
“Iya mas, sampai jumpa disana.” Akhir Arif.

Ketertarikan Diana kala itu ternyata masih berlanjut hingga masa pendekatan.

Akhir 13 Tahun

 Surabaya, 4 Juli 1996 pukul 19.00 WIB    
      
“Bu, tahan sebentar. Biar tanggal lahir nya sama dengan ibu.” Kata Dokter Gani.         
“Tahan gimana sih Dok ? perut saya sudah mulas ini. Gak sama pun gak apa-apa.” Suara Ibu Jessie terdengar terbata-bata.         
“Ya sudahlah. Suster siapkan semua peralatan nya.” Perintah Dokter Gani.         
“Baik dok.” Jawab suster serempak. Dengan cekatan semua peralatan sudah siap untuk proses kelahiran anak Bu Jessie.           

Surabaya, 5 Juli 1996 pagi hari                  
  
“Happy Birthday to you… Happy Birthday to you…. Happy Birthday.. Happy Birthday.. Happy Birthday Bu Jessie.” Para dokter dan suster bernyanyi ria di kamar perawatan Bu Jessie.         
“Selamat ulang tahun Bu Jessie dan ini sebagai hadiah special-nya” Ucap Dokter Gani . Hari ini Bu Jessie ber ulang tahun, dengan hadiah seorang putri yang lucu.          
“Terima kasih dok, sus. Iya, anak ini kado special saya.” Tutur Bu Jessie. 
          
Surabaya, 4 Juli 2009          

“Selamat ulang tahun sayang.” Kata Tante Jessie pada anak sulungnya, Keisha.         
“Makasi mama. Keisha seneng mama ada hari ini.” Tutur Keisha.        
 “Happy Birthday Kak Keisha, ini hadiah dari Ciko. Semoga kakak tambah cantik dan pintar.” Ucap Ciko lugu, adik Keisha.         
“Makasi sayang. Amin, kamu juga harus tambah pintar loh.” Balas Keisha.         
“Happy Birthday Keisha. Sayang ya gak ada cowok special disini. Wish You All the Best deh .” Kata Fela, sahabat SMP Keisha.         
“Iya nih. Udah 13 Tahun tapi masih sendiri aja. Happy Birthday sayang. Be Your Self ” Ucap Septi, sahabat SMP Keisha juga.         
“Hahahaha, biarin deh gak ada cowok. Lagian kita kan masih kelas 1 SMP masak iya udah kudu pacaran ? Makasii ya kalian udah mau dating di acara sederhana ini.” Balas Keisha.         
“Tapi kamu kan cantik. Banyak tuh yang ngantri di kelas. Tinggal pilih aja.” Goda Fela.        
  “Lah emang barang dipilih ? Keisha pengen konsen sekola aja. Ya gak ma?” Tanya Keisha minta persetujuan.         
“Iya. Harus belajar lebih rajin lagi kak. Biar bisa rangking lagi.” Kata tante Jessie menyemangati.         
“Ya Udah gih, ayo makan dulu. Ntar keburu dingin makanannnya.” Kata Tante Jessie.         
Semua makan dengan lahap. Begitu juga dengan Keisha. Hari ini ia senang karna ulang tahunnya dirayakan oleh mama, adik, dan ke-dua sahabat nya. Hanya satu yang Keisha inginkan untuk datang. Papa. Semenjak Mama dan Ayah berpisah, ia sudah tak bertemu lagi dengan Ayah nya.  
2 tahun silam kedua orang tuanya berpisah. Tante Jessie sudah tak kuat menghadapi sikap Om Soni yang tega menyiksanya. Sudah dengan pertimbangan panjang bagi Tante Jessie. Ragu sebenarnya, ia tak tega melihat Keisha dan Ciko. Namun hati nya teriris tatkala melihat Keisha menangis melihat ia disiksa sang Ayah. Hingga Keisha memutuskan agar mama dan ayah nya berpisah. Berat memang, tapi semua akan lebih baik jika seperti itu adanya. Keisha sendiri tak kuasa menahan ujian ini, disaat ia duduk di bangku kelas 6 SD. Pikirannya terbagi, tak terfokus pada sekolah.   
       
Saat itu pun tiba, 

September 2007 

Kedua orang tua Keisha. Mati-matian Keisha menutupi kesedihannya. Berjuang keras belajar demi Ujian kelulusan nanti. Keisha dan Ciko memilih tinggal bersama Tante Jessie. Dan entah apa yang ada di benak Om Soni, beliau pun tega meninggalkan buah hatinya tanpa pamit atau salam perpisahan. 2 tahun sudah kehidupan Keisha berjalantak seperti biasa, tanpa seorang Ayah. Seseorang yang amat sangat ia rindukan. Suatu ketika, hati Keisha menangis tiada henti melihat teman sekolahnya akrab bersama Ayah nya. Kapan aku bisa rasakan hal itu? Tanya Keisha dalam hati. Iri.
Ya, Keisha sangat Iri melihat seorang Ayah akrab dengan anaknya, terutama anak perempuan.Hanya mimpi yang bisa mengobati kerinduan Keisha kala itu. Syukurlah kini Keisha sedikit terbiasa dengan kehidupan baru nya. Begitu pula Ciko. Namun, hati Keisha tetap tak bisa terima tentang hari ini. Dimana seharusnya ia bisa mendapat semua kasih sayang orang tua. Walau sama dengan tahun sebelumnya. Namun hati Keisha seakan teriris hari ini, benteng kekuatan yang dibangun mati mati an seakan runtuh seketika. Tak kuasa menahan perihnya hati, bulir air mata berkumpul di pelupuk matanya dan jatuh tanpa tertahan.
“Keisha, kenapa sayang kamu menangis ? apa ada yang tidak kamu sukai dari makanan ini?” Tanya Tante Jessie lembut.“Enggak ma, Keisha nggak papa kok. Cuma capek aja.” Kata Keisha, alasan. Bagaimana pun juga Keisha tak tega melihat mama nya menangis, Lagi. Cukup dia saja yang tersiksa akan ini.
“Ya sudah. Abis gini langsung istirahat ya” Suruh Tante Jessie.“
Iya ma. Fel. Sep. Ikut ke kamar yuk.” Ajak Keisha.
“Ayo.” Jawab keduanya serempak.       
   
Sesampainya dikamar,        
  
Keisha menutup pintu kamar perlahan, mengunci. Seketika itu juga ia menangis sejadi-jadinya. Dengan sesenggukan Keisha menceritakan penyebab tangisnya yang meledak pada kedua sahabatnya. Fela dan Septi mengusap bahu Keisha. Keduanya bertukar pandang, tak tahu apa yang harus dilakukan. Keduanya hanya mendengar rentetan cerita Keisha yang memilukan itu. Terbawa dalam jurang kesedihan, keduanya berusaha agar tangisnya tak pecah. Hanya membuat Keisha semakin terpuruk bila keduanya menangis.         
Kesetiaan dan Support dari kedua sahabatnya lah yang membuat Keisha kuat mengahadapi semua. Tak ada tempat berbagi selain mereka, tidak dengan Tante Jessie sekali pun. Karna Keisha tak mau melihat mama nya menangis kembali. Cukup rasanya melihat bulir air mata sang mama. Kini dial ah saatnya yang menjadi tameng mama nya. Pelindung dan penguat, walau sirinya tak sekuat itu. Sebenarnya.         
Setelah tangis nya reda, Keisha baru sadar bahwa kini matanya bengkak. Bekas tangis itu tergambar jelas di paras cantik Keisha. Diputuskannya untuk Shalat, berdoa memohon kekuatan dan ketentraman hati pada Tuhan. Segenap rasa tlah tercurahkan. Keisha berhenti menangis.         
Rasanya percuma saja ia menangisi Papanya. Beliau sudah melupakan ia dan Ciko. Diam dalam doa. Keisha menghentikan segala kesedihannya. Berhenti barang sejenak. Dan selanjutnya ia hanyut dalam canda tawa dengan ke dua sahabatnya.            

Tanggal 26 Juni 2010         

  “Ayo Dan sini. Ini kan giliran mu. Ayo ayo. Ayo ayo.” Teriak Keisha pada Danti sepupunya.         
“Iya Dan, sportif donk. Gak bole tuh curang. Kemaren kan juga ikut ngguyur.” Kata Kak Sitta menambahkan.         
“Ah, tapi gak pake telor loh ya. Amis tau.” Ujar Danti.         
“Liat ntar, ato gini. Kita maen badminton. Dan kalo kamu kalah. Kamu harus mau di ceplokin telor, hayo gimana ? deal ?” tawar Keisha menjebak.          “
Oke. Deal.” Jawab Danti percaya diri.          Saat menuju halaman depan rumah. 
         
Plok. Byuuuuur.            

Yahaa, akhirnya kena juga si Danti, kata Keisha dalam hati.          
“Curaaang.” Teriak Danti sadar ia dikerjain. Sontak semua yang ikut dalam tradisi guyur telor itu lari tunggang langgang memasuki rumah-rumah sekitar.         
“Hahahaha, salah sendiri situ nya juga curang. Akhirnya ? Kena deh !” Ejek Keisha yang sudah memilih tempat aman.                   
Setelah seru-seruan bareng saudara-saudaranya Keisha mandi dan mengambil HandPhone nya.  
      
   1 missed call --> Ayah           

Damn.          

Keisha mengucek kedua matanya. Mengira semua ini mimpi. Namun tulisan itu tetap dan tak berubah. Kali ini Keisha mencubit pipinya. Aooow Sakit, rintih Keisha. Dan tulisan yang tertera di HP nya tetap. Tak berubah. Artinya semua ini nyata !          
“Ha ? gak mungkin. Tapi ini beneran terjadi. Apa aku SMS aja ya?” tanya Keisha bingung. Akhirnya Keisha memutuskan untuk mengirim pesan pada Ayahnya. 

To : Ayah 
Yah ada apa tdi telp. Aku ? maaf tdi aku abis main. 
Klik. Send 

“You know you love me, I know you care…… “ HP Keisha berbunyi. Di layar nya tertera à Ayah Calling.          

Klik.          

“Halo. Assalamualaikum.” Kata Keisha mengawali.         
“Halo. Waalaikumsalam. Mbak Keisha lagi dimana?” tanya Om Soni.         
“Keisha lagi di rumah Danti. Ada apa Yah?” tanya Keisha.         
Sama dek Ciko kesananya?” Om Soni balik tanya.        
  “Enggak Yah, adek di rumah sama eyang. Keisha barusan ke rumah Danti nya.” Tutur Keisha.         
“Kapan pulang nya? Ayah mau ajak jalan-jalan mau gak?” tawar Om Soni.         
“Em.. eh.. em.. Iya Yah. Tapi minggu depan aja ya. Soalnya aku baru dateng nih.” Jawab Keisha terbata-bata.         
“Ajak dek Ciko juga ya.” Tutur Om Soni.          “
Iya Yah.” Jawab Keisha.         
“Oke. Assalamualaikum.” Akhir Om Soni.        
  “Waalaikumsalam.” Jawab Keisha.          

Klik. Telfon ditutup.         

  Beberapa saat setelah telfon ditutup, Keisha masih termangu di tempat tanpa satu gerakan pun. Termasuk mengedipkan mata.          
“Sha, buruan ke ruang makan gih. Ayo kita makan.” Panggil Danti dari luar kamar.         
“Iya Dan. Bentar lagi.” Jawab Keisha. Tersadar.     
    
  Tanggal 1 Juli 2010           

“Yah, Keisha udah berangkat dari rumah. Ntar ketemu dimana?” tanya Keisha dalam telfon.              
“Ntar ketemu di kafe biasa aja kak. Ayah tunggu sana.” Jawab Om Soni.         
“Iya deh. 30 menit lagi Keisha sampe ya.” Kata Keisha.         
“Hati-hati kak.” Kata Om Soni.         
“Sip Yah.” Kata Keisha mengakhiri.      
    
Sesampainya di kafe,,         

  “Ikut ke kantor ayah dulu ya. Ayah masih ada jam kantor.” Tutur Om Soni mengawali pembicaraan.         
“Oke Yah.” Jawab Keisha dan Ciko. Wajah berseri dan bahagia terpancar dari Keisha dan Ciko. Ke-duanya masih bingung dengan perubahan sikap Om Soni, ayah nya yang mendadak.          
“Yah, jalan-jalan yuk. Katanya mau ajak jalan-jalan?” Ajak Ciko.         
“Boleh. Dek Ciko mau jalan-jalan kemana? Beli apa?” tanya Om Soni.         
“Ciko mau beli tas sama sepatu. Enaknya dimana ya kak ?” tanya Ciko pada Keisha.         
“Ke Mall biasanya aja dek. Disana kan banyak pilihannya.” Jawab Keisha.         
“Iya deh. Ke mall yg dulu itu loh Yah. Masih inget kan ?” tanya Ciko.         
“Oke deh, sekarang kalian mandi dulu. Terus kita berangkat.” Suruh Om Soni.         
“Oke Yah.” Jawab Keisha dan Ciko bersamaan.    
               
Sore hari.           

Om Soni, Keisha, dan Ciko sampai di pusat perbelanjaan. Ketiganya langsung membeli barang yang diperlukan. Makan di kafe biasanya. Sampai akhirnya Ciko ingat ada satu permintaan yang belum di utarakan nya.         
“Yah, ada satu yang kelupaan.” Kata Ciko mengawali.         
“Apa dek yang lupa?” tanya Om Soni.         
“HP Ciko kemaren ilang. Ciko boleh gak minta beli in HP baru? Ciko janji pasti jaga HP itu.” Pinta Ciko.         
“Ya udah. Toko HP nya dimana? Yuk kesana.” Ajak Om Soni.         
“Disana Yah.” Tunjuk Ciko pada sebuah deretan toko.          
Keisha dan Ciko kembali termangu melihat sikap Om Soni. Seusainya membeli HP ketiganya pulang ke rumah Om Soni. Hati Keisha merasa bimbang. Antara bahagia dan rasa tak percaya. Apa iya Ayah udah kembali? Tanya Keisha dalam hati     
     
Keesokan harinya,,           

“Kak. Dek. Ayo olahraga. Masak mau tidur terus?” Ajak Om Soni.         
“Iya Yah. Tapi Keisha sama Ciko belom mandi.” Jawab Keisha.         
“Gih mandi dulu. Ayah tunggu di ruang makan.” Kata Om Soni.          “Oke.” Jawab Keisha.          
Di lapangan badminton. Ketiganya semangat bermain. Terutama Ciko, terlihat sekali jika ia menikmati saat ini. Senyum terulas di wajah  Keisha, senang melihat Ciko bahagia.          
“Yah Keisha mau ultah. Terus Keisha mau traktir temen-temen. Boleh minta uang Yah?” tanya Keisha takut-takut.         
“Butuh berapa kak?” tanya Om Soni tanpa basa basi.         
“250 ribu Yah. Gimana ?” tanya Keisha, masih takut.         
“Oh. Nih uangnya.” Kata Om Soni seraya menyerahkan beberapa lembar uang pecahan Rp. 50.000.          
Speechless. Itulah yang Keisha rasakan. Mengapa semuanya terasa begitu indah saat ini ? apa ini jawaban dari doaku selama ini ? dan ini kah kado yang kuharapkan setahun silam? Rentetan pertanyaan memenuhi pikiran Keisha           

Hingga saatnya pun tiba….           

Minggu, 4 Juli 2010        
Keisha dan Ciko sudah kembali pulang ke rumah Tante Jessie, mama nya. Hari ini, usia Keisha genap 14 tahun. Hari ini pula ia merasakan hal terindah dan kado paling special dalam hidupnya.     
     
Pagi hari, pukul 05.00 WIB          

HP Keisha berdering. Ada seseorang yang menelfon. Siapa ya? Pagi-pagi udah nelfon ,Tanya Keisha.          
“Halo. Assalamualaikum.” Keisha mengawali.         
“Waalaikumsalam. Selamat Ulang tahun kakak. Semoga jadi tambah pintar dan berbakti sama orang tua.” Seseorang yang sangat dikenal suaranya oleh Keisha mengucapkan itu. Damn. Suara Ayah, kata Keisha dalam hati.
“Em… Eh.. Iya Yah. Makasi ucapannya. Aku kira Ayah lupa.” Tutur Keisha.
“Ya Enggak lah. Masak ayah lupa sama anaknya?” tanya Om Soni meyakinkan. Dalam hati Keisha berkata, dulu iya sekarang mungkin inget.       
“Hehe. Ya udah Yah Keisha mau mandi dulu. Nih baru bangun tidur.” Kata Keisha.         
“Iya deh. Buruan mandi. Pantes dari tadi ada bau-bauan.” Goda Om Soni.         
“Oke Deh. Assalamualaikum.” Kata Keisha.         
“Waalaikumsalam.” Akhir Om Soni.          
   Seusai mandi, Keisha mengambil air wudlu untuk menunaikan Shalat. Dalam Shalat nya, tak henti ia mengucap syukur dan terima kasih. Tak henti-hentinya berdoa agar semua ini akan abadi. Terima kasih kepada Tuhan sang Pemilik jagad raya. Doa Keisha selama ini, yang bagi nya hanya sekedar mimpi belaka akhirnya terwujud kan.         
   Bulir air mata mengalir di pipi Keisha. Tak terasa ucapan syukur dan terima kasih nya memancing air matanya untuk turun. Hari ini Keisha merasakan hatinya tentram, damai, dan bahagia.          

“Terima kasih Tuhan Kau telah dengarkan doa ku. Terima kasih juga atas hadiah istimewa dari Mu. Aku harap semua masih tetap abadi untuk selamanya.” Tutur Keisha, mengakhiri Shalat-nya.


Cerpen Curhat Cinta

cerpen - Akhir 13 Tahun

cerpen - Akhir 13 Tahun

Cerpen Curhat Cinta

new entry at 6 July 2010

by : Sirgina Firdaus

Ada apa dengan semua ini ?

Hari ini, aku merasa aneh. 
Perasaan bahagia pagi tadi sirna seketika malam ini. Aku pun tak tahu apa sebabnya. Ku kira hidupku sudah tak berarti lagi. 
“Sel, ayo bangun. Udah siang gini. Ayo mandi, cewek kok sukanya molor.” Teriak Oma Desi, nenek Gisel. “Ah, bentar oma. Aku masih ngantuk nih. Tadi malem gak bisa tidur.” Jawab Gisel, masih dengan posisi tidurnya.
“Udah ayo bangun. Buruan mandi terus sarapan. Cewek kok sukanya molor gini.” Tegur oma. Mau tak mau Gisel bangkit dari tidur. Bisa panjang urusan kalo Oma nya marah. 
“Sekarang buruan mandi, Sarapan. Tata kamar.  Terus bantuin oma beres-beres.” Kata Oma, menjelaskan daftar kegiatan Gisel hari ini. Kepala Gisel terasa pening. Tapi ia tetap beranjak bangun dan mandi,  
“Hmm. Katanya suruh sarapan, kok gak ada makanan Oma ?” tanya Gisel. 
“Buruan bangunin mama mu gih. Suruh dia masak. Oma lagi sibuk, jadi gak sempet buat sarapan buat kalian.” Suruh Oma.
“Ya, itu mah sama aja. Ngapain tadiaku dibangunin duluan.” Protes Gisel, 
“Udah, anak kecil kok banyak protes.” Kata Oma. Sambil berjalan gontai, Gisel menuju kamar mama nya. Dan Mengetok pintu. 
“Tok..tok..tok.. Ma bangun ma. Udah siang nih.” Teriak Gisel.
“Mama udha bangun kok.” Jawab mama mengagetkan Gisel. 
“Ih mama ngagetin aja. Disuruh Oma masak tuh buat sarapan. Katanya tadi sibuk, jadi gak sempet buat sarapan.”kata Gisel. 
“Oke. Mama mandi dulu ya.” Kata mama.  Setelah sarapan. Gisel melakukan rentetan aktifitas yang sudah didata oleh neneknya, Setelah itu pun, Gisel hanya berdiam diri di dalam kamar. Sampai akhirnya ia menemukan satu pekerjaan.  
“Ih, motorku kotor gila. Nyuci motor ah.” Kata Gisel. 
“Eh kamu mau kemana? Mau pergi?” tanya Oma, melihat Gisel keluar kamar sambil tersenyum lebar.
“Enggak Oma, tenang aja. Gisel mau nyuci motor di depan tuh. Motor Gisel kotor banget Oma.” Kata Gisel menjelaskan. 
“Oh, Ya sudah. Yang penting kalo mau keluar beresin semua kerjaan dan tugas mu dulu.” Jelas Oma. 
“Siap Oma.” Jawab Gisel. Sambil bersiul ria, Gisel membersihkan motor kesayangannya ini. dia paling gak betah kalo ngeliat motornya kotor. Walau sedikit. Setitik pun langsung dilap.  
‘Yap. Selesai sudah.” Kata Gisel puas. Melihat motornya kembali berkilau.
“Gisel.” Panggil mama dari dalam rumah. 
“Iya ma.” Jawab Gisel, seraya berjalan ke dalam rumah. “Kamu ada acara gak hari ini?” tanya mama. “Gak ada ma. Gisel dirumah aja kok. Ada apa ma?” tanya Gisel.
“Mau ikut mama belanja gak? Mama gak ada temennya nih.” Pinta Mama. “Boleh ma. Naik apaan? Mobil? Ato Motor?” tanya Gisel. 
“Motor aja deh. Mama males bawa mobil.” Jawab Mama.
“Oke deh. Gisel ganti baju dulu ya.” Seru Gisel. Ya, daripada gak ada kerjaan. Mending nemenin mama belanja deh, kata Gisel dalam hati. Sesampainya dipusat perbelanjaan. 
“Yah mama. Motor Gisel kotor lagi deh. Baru dicuci.” Seru Gisel. 
“Kalo motor gak kotor. Pabrik shampoo motor bangkrut tuh.” Jawab Mama. “Iya sih. Tapi.. Ya udahlah biarin.” Kata Gisel akhirnya.   Setelah berkeliling mengambil barang yang dibutuhkan..  
“Udah semua ma?” tanya Gisel. 
“Udah kak. Sekarang makan yuk.” Ajak mama. 
“Ayo. Gisel kira gisel doank yang laper. Ternyata mama juga.” Kata Gisel. Sambil berkeliling Food Court, Gisel dan mama memilih makanan. 
“Enaknya makan apaan ya kak?”tanya mama. 
“Hem. Aku sih pengen Ayam goreng, Mama mau apa?” tanya Gisel. 
“Ya udah deh. Sama. Nih beli 2 porsi.” Kata mama seraya menyodorkan uang, Setelah makan…  “Ma, aku pengen beli baju yang kemaren.” Kata Gisel. 
“Baju yang mana kak? Yang ditoko kemaren itu?” tanya Mama.
“Iya ma. Boleh gak Gisel minta itu?” tanya Gisel. 
“Iya deh gak papa. Yuk kesana.”Ajak Mama kemudian.   Sesampainya di rumah..  
“Abis belanja apa kalian? Cepet banget keluarnya.” Tanya Oma. 
“Ini Oma, kita abis belanja telor. Minyak, mie instant. Pokoknya bahan-bahan yang udah abis Oma.”Jelas Gisel. “Oh. Ya udah gih buruan tata.”suruh Oma.   Ya. Gisel kembali merenung. Tanpa kegiatan. Sepi dan melelahkan. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Tapi Gisel pun tak tahu apa itu.  Hingga akhirnya…  “Hem.. coba buka twitter ah. Kali aja bisa seru.” Kata Gisel memutuskan. 
“Ha? Apa-apan nih. Tega.” Seru Gisel. Dia tak percaya bahwa sahabat nya selama ini telah mengkhianatinya. 
            Meta, sahabat nya sejak dulu, telah merebut pacarnya.Semua terlihat dan terbukti jelas. Kata-kata mesra dan bukti hubungan mereka tertulis disitu. Bahkan Meta tega menganggap Gisel tak berharga.  Bukan ini yang Gisel harapkan. Bukan ini yang Gisel inginkan untuk mengakhiri hari ini, Malam kelabu. Menjadi saksi kerapuhan hatinya saat ini. 
Terkhianati oleh sahabat. Lebih sakit daripada kehilangan seorang kekasih. 
“Ada apa dengan semua ini?” tanya Gisel dalam hati.    

 mere expression of liver



Cerpen Curhat Cinta

cerpen - Ada apa dengan semua ini ?

cerpen - Ada apa dengan semua ini ?

Cerpen Curhat Cinta

Rabu, 09 Juni 2010

Karena Aku Bisa


Resti Fairuz, seorang gadis yang telah beranjak dewasa. Seorang gadis yang mempunyai berjuta impian tentang kehidupan indah. Indah dalam beragam arti. Kini ia telah berumur 14 tahun. Kehidupan remaja nya telah dimulai dari sekarang.

“Resti sayang ayo sarapan bareng.” Suara tante Rina terdengar lembut, mama Resti.

“Iya ma, ntar lagi Resti sarapan. Resti masih nyiapin peralatan.” Teriak Resti dari dalam kamar.

“Kak Resti bajunya rapi banget. Udah gak sabar sekolah lagi ya?” kata Ortiz, adik Resti satu-satunya, masih duduk di kelas 3 Sekola Dasar.

“Masak sih dek ? iya sih kakak udah gak sabar pengen sekola lagi. Kamu seneng sekolah lagi?” Tanya Resti penuh kasih.

“Iya kak, Tiz juga udah gak sabar sekola. Kangen sama temen-temen Tiz.” Ucap Ortiz, yang selalu memanggil dirinya Tiz.

“Eh, ayo diabisin sarapannya. Ntar kalian telat sekolah nya.” Tante Rina mengingatkan.

“Iya ma.” Kata Resti dan Ortis bersamaan.

“Oh ya Res, nanti tolong antar Ortiz ke sekolah ya. Mama lagi ada pesanan banyak, jadi gak bias nganter Ortiz. Ortiz mau kan diantar kak Resti?” kata Tante Rina.

“Oke ma, biasanya kan Resti juga nganterin dek Ortiz. Iya gak dek?” ungkap Resti seraya menoleh pada Ortiz.

“Iya donk. Tiz mau banget kalo dianter kak Resti, seneng malah.” Ungkap Ortiz menaruh sarapannya.

“Ortiz udah makannya ? yuk kita berangkat.” Ajak Resti pada adiknya.

“Udah kak, ayo.” Kata Ortiz sambil membawa tas-nya.

“Jangan lupa pamit mama.” Resti mengingatkan.

“Ma, kita berangkat ya !” ucap Resti dan Ortiz yang sudah tampak meninggalkan rumah mungil mereka.

Setelah mengantar adiknya, Resti segera menuju sekolah barunya dengan kendaraan umum. Akhirnya udah masuk sekolah lagi, ungkap Resti dalam hati. Bukannya ia tidak suka liburan. Tapi setiap kali liburan ia hanya menghabiskan waktu membantu mama dan bermain bersama Ortiz. Menyenangkan memang, tapi bagi anak pintar seperti Resti agaknya ia sudah tak sabar untuk segera menuntut ilmu.

Sesampainya di sekolah ia disambut hangat oleh teman-teman yang sudah tak asing lagi baginya.

“Iruz ! aku kangen nih sama kamu.” Sapa Leta, sahabat Resti sejak kecil.

“Sutil ! aku juga kangen sama kamu.” Jawab Resti.

“Ckckck kalian ini, katanya kangen kok panggilannya masih ‘Irus-Sutil’? nama asli kenapa?” tanggap Fondy, teman mereka.

“Biarin. Itu kan panggilan sayang kita, ya nggak Rus ?” Tanya Leta pada Resti.

“Sayang? Ih aku masih normal kali. Masih suka jenis cowok.” Jawab Resti.

“Maksudnya sebagai sahabat Rus. Aku juga masih normal.” Kata Leta menegaskan.

“Oh, ya iya donk. Lagian gak papa kan kalo kita punya panggilan sayang?” Tanya Resti pada Fondy.

“Dasar dua sekawan. Selalu kompak.” Kata Fondy langsung ngeloyor pergi.

“Eh Rus, liburan kemaren kemana ? kok gak ada kabar sama sekali.” Tanya Leta saat mereka menduduki bangku baru di kelas baru mereka.

“Gak kemana-mana sih. Cuman bantuin mama sama nganterin Ortiz ke Papa. Lah kamu ndiri kemana Til ?” Resti balik tanya.

“Aku sih stay at home aja. Oh ya, gimana kabarmu sama papa mu?” tanya Leta ragu.

“Ya gitu lah Til, tetep gak ada perubahan.” Tutur Resti tak mau peduli.

“Kamu gak mau baikan sama papa mu? Gimana pun juga dia berjasa buat hidup mu Rus.” Kata Leta, mengingatkan.

“Emang dia berjasa buat aku. DULU. Gak untuk sekarang dan selanjutnya.” Kata Resti menegaskan.

“”Em.. iya deh, sorry Rus. Aku jadi ceramah deh.” Ucap Leta, merasa tak enak hati dengan Resti.

“Iya Til, gak papa kok. Tapi kemaren aku bertengkar hebat sama papa. Makanya aku jadi makin kesel sama dia.” Tutur Resti.

“Loh loh loh, lah emang kenapa toh Rus kok kamu sampe tengkar sama papa mu?” tanya Leta, heran.

“Gimana gak sebel coba, masak ya waktu aku sama Ortiz dateng ke rumahnya kita malah disuruh pulang. Tuh orang gak punya ati. Anak sendiri diusir.” Jelas Resti, dengan kekesalan membara.

“Masak dia setega itu sih Rus?” tanya Leta, masih heran dengan cerita Resti.

“Iya Til, ngapain juga aku boong. Aku bingung sama jalan pikiran tuh orang, bisa-bisanya dia ngebuang aku dan Ortiz gitu aja? Gak mikir kalo kita juga manusia.” Jelas resti , bertambah kesal.

Memang, sejak 3 tahun silam kehidupan Resti berubah seluruhnya. Semua mimpi indah nan rupawan nya lenyap seketika. Keluarga yang ia banggakan dalam dirinya, roboh seketika. Sosok yang ia sayang turut lenyap dalam amarah. Papa nya pergi begitu saja meninggalkan ia, adik, dan mamanya. Beliau menceraikan sang mama hanya karena seorang wanita kaya. Resti tak pernah mengira bahwa papa nya bertindak sekejam itu padanya. Kekesalan dan amarah Resti makin menjadi tatkala sang Papa tega mengusir ia dan adiknya.

Saat Ortiz benar-benar rindu pada Papa nya. Resti tak tega melihat adiknya menahan sakit karena rindunya. Hingga akhirnya ia mengantar adiknya bertemu papa mereka. Namun, bukan mendapat sentuhan kasih sayang malah bentakan amarah yang mereka dapat. Papa nya mengusir mereka saat ia tiba di rumah baru papa dan ibu tirinya itu. Kala itu Ortiz langsung menangis sejadi-jadinya, ia berjanji tak akan mau bertemu papa lagi. Ia juga berjanji untuk berusaha membahagiakan mama yang kini banting tulang sendiri.

Hingga akhirnya Resti dapat menenangkan adiknya. Namun janji Ortiz pada dirinya dan mamanya tak bisa dipatahkan Resti. Resti sendiri pun memang sudah tak mau jumpa dengan papa kalau bukan karena sang adik.

Dan kini ia lega, akhirnya tak kan ada alasan lagi baginya untuk bertemu papa.

“Irus, kamu gak papa kan ? helo ??” tanya Leta membuyarkan lamunan Resti.

“Eh.. oh.. em.. ada apa Let ? udah masuk?” tanya Resti tergeragap.

“Hea, abis ngelamun toh rupanya. Belom masuk kok, hari pertama masih bebas kali.” Tutur Leta.

“Oh, hehe maaf Til aku sering nge blank akhir-akhir ini.” jelas Resti.

“Iya deh, kantin yuk. Laper belom sarapan.” Ajak Leta.

“Ayo.” Jawab Resti.

“Resti pulang!” seru Resti setibanya di rumah.

“Mama… Ortiz… halo? Kok sepi? Gak biasanya jam segini rumah masih sepi.” Kata Resti heran.

“Huhuhu…. Hiks.. hiks.. hiks.. “ terdengar suara tangis dari kamar Ortiz.

“Loh, Ortiz kenapa? Kok nangis? Abis berantem ya sama temen baru?” Tanya Resti lembut.

“Tiz hiks.. gak bertengkar hiks… sama temen Tiz hiks… kak.” Kata Ortiz sesenggukan.

“Cup. Cup. Terus Ortiz kenapa nangis? Sini sama kakak. Oh ya mama mana?” Tanya Resti seraya mendekap adiknya dalam pelukannya.

“Tiz nangis, soalnya mama hiks.. mama hiks.. mama belom pulanghks… karena hiks.. kecelakaan kak hiks… huaaaaaaaah.” Deg. Pernyataan Ortiz barusan mengejutkan Resti yang masih mendekap adiknya itu. Tangis Ortiz makin menjadi, Resti tak tega melihatnya.

“Adek, gak boleh ngomong gitu ah. Mama kan tadi dapet banyak pesenan jadi mungkin aja mama masih nganter pesenan terus masih kena macet di jalan.” Kata Resti menenangkan adik dan hatinya yang kini gelisah.

“Enggak kak! Hiks.. mama tadi kecelakaan, hiks.. waktu Tiz dijemput mama tadi, hiks… di depan gang sana, hiks.. ada motor ngebut, hiks.. nabrak mama dari belakang. Mama dibawadi rumah sakit,, hiks… Tiz bodoh kak, hiks.. Tiz gak bisa jaga mama,hiks.. coba tadi Tiz tarik mama,hiks.. pasti mama udah di rumah sekarang.. hiks.. Huaaaaaaaaaaah.” Suara Ortiz terdengar gemetar. Ada rasa penyesalan di hati anak itu.

“Pssst… Tiz gak bole gitu. Sekarang mama dimana? Terus kenapa Ortiz gak ikut mama ke Rumah sakit?” suara Resti tak kalah gemetar dengan suara adiknya. Namun Resti berusaha tegar di hadapan sang adik.

“Kata Bik Jah, hiks… mama di hiks.. Rumah Sakit Bakti. Hiks… Tiz gak ikut kesana,hiks.. soalnya hiks.. Tiz malu sama mama hiks…. Tiz gak bisa hiks… bantu mama tadi hiks…” Tutur Ortiz masih gemetar. Resti semakin panic, tapi ia tetap berusaha tidak menangis di depan adiknya.

“Ya udah, sekarang kita kesana. Kalo kita di rumah, sapa yang jagain mama? Bik Jah kanpasti balik pulang lagi.” Tutur Resti seraya berdiri.

Setelah berganti pakaian, Resti dan Ortiz segera menuju R.S Bakti. Tak berapa lama tibalah mereka disana. Resti langsung bertemu dengan Bik Jah, tetangga mereka yang mengantar mama nya ke Rumah Sakit ini.

“Bik, mama mana Bik? Gimana keadaannya?” Tanya Resti panik.

“Mama mu masih di dalam UGD Res, Bik Jah juga gak tau keadaan mama mu. Dari tadi dokternya belom keluar.” Tutur Bik Jah tak kalah panik.

“Resti telfon tante sama om dulu Bik.” Kata Resti.

“Dengan keluarga nyonya Rina.” Suara dokter dari ruang UGD mengejutkan Resti, Ortiz, dan semua keluarga Resti yang telah hadir.

“Iya dok. Saya anaknya. Gimana keadaan mama saya dok? Beliau baik-baik aja kan?” Resti memberondong pertanyaan.

“Luka yang diderita ibu anda cukup parah. Saya dan teman-teman sudah berusaha semaksimal mungkin.” Penuturan dokter jelas membuat Resti shock.

“Dokter, jangan…. bilang …mama saya…..” kata Resti terbata-bata.

“Bukan itu maksud saya. Mama anda masih dalam keadaan koma. Tapi beliau sudah melewati masa kritisnya. Luka yang diderita beliau lah penyebabnya. Saya dan teman-teman tidak dapat memastikan sampai kapan beliau koma.” Tutur dokter itu, sedikit melegakan Resti tapi juga membuat Resti gelisah. Walau begitu, ia tahu bahwa biaya perawatan koma tidaklah sedikit. Tabungannya mungkin cukup, tapi hanya untuk beberapa hari. Bagaimana dengan selanjutnya? Mimik bingung Resti dapat terbaca oleh seluruh sanak keluarganya.

“Ya sudah dok. Sekarang tolong berikan pelayanan terbaik untuk kakak saya.” Ucap tante Helda, adik tante Rina.

“Tante, Resti gak punya tabungan sebanyak itu buat perawatan mama. Tabungan Resti dan Ortiz pun mungkin hanya untuk beberapa hari kedepan.” Jelas Resti.

“Kamu tenang aja, kita semua udah rembugan. Biaya perawatan mama mu kita yang tanggung. Kamu dan Ortiz gak usah mikirin hal ini, kalian harus tetap fokus pada sekolah. Dan selama mama mu masih dirawat, tante dan anak-anak tante akan tinggal di rumahmu. Apa kamu setuju ?” jelas tante Helda. Tak ada pilihan lain selain ini. Mungkin dengan kehadiran tante Helda dan anak-anak beliau dirumahnya, mungkin sedikit menghibur Ortiz yang sedari tadi diam, termenung, dan melamun.

“Iya tante, Resti setuju.” Tutur Resti.

2 bulan kemudian…

Keadaan Tante Rina, mama Resti masih sama sejak kecelakaan itu. Beliau masih koma, beliau belum sadar sedikitpun. Sejak dua bulan lalu juga, sepulang sekolah Resti dan Ortiz menyambangi mama nya. Sekadar menjenguk dan membacakan doa-doa disamping sang mama. Minggu pertama tanpa mama, terasa berat bagi Resti. Ia merasa gamang. Tapi ia tetap bertahan untuk tidak menangis. Ia ingin adiknya tidak berlarut dalam ujian ini.

Seiring berjalannya hari, keadaan Ortiz kian membaik. Kini ia jarang melamun, sepulang dari rumah sakit ia langsung bermain dan belajar bersama Daisy dan Gani anak tante Helda. Namun, Tuhan masih berencana lain.

“Res, tante mau bicara sama kamu, bisa?” Tanya tante Helda ketika Resti berada di kamarnya.

“Oh bisa tante. Mau ngomongin soal apa te?” jawab Resti.

“2 bulan sudah mama mu dirawat. Dan kini bukan kita tak mau membantu atau membebanimu. Tapi jujur saja dana yang kami kumpulkan kian menipis. Sedangkan mama mu tak menunjukkan tanda baik. Tante harap kamu bisa memberi sedikit tambahan dana. Mungkin dari tabungan mu. Coba kamu pikirkan ya.” Jelas tante Helda, meninggalkan kamar Resti.

Tabungan Resti kini juga kian menipis untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Jelas tak akan cukup untuk menambah dana. Resti putar otak memikirnya. Tapi tetap saja jalan buntu yang ia dapatkan. Dan ada satu ide yang enggan Resti lakukan, yaitu menemui papa nya. Ya ! ia tak bisa berkutik lagi. Mungkin ia bisa meminjam uang untuk sementara dari beliau. Walau sangat muak melihat papa-nya Resti bertekad untuk bertindak demi kesembuhan sang mama.

“Tet…Tet…Tet…” terdengar suara bel dari dalam rumah.

“Permisi. Selamat siang.” Sapa Resti dari depan pagar.

“Eh non Resti, ada apa non siang-siang dating kemari.” Sapa Bik Nah, mantan PRT Resti dulu.

“Papa ada Bik? Resti perlu sama Papa nih.” Tanya Resti sopan.

Ada non, kebetulan Tuan sudah pulang. Mari masuk non.” Kata Bik Nah, sambil membukakan pintu pagar.

“Mari duduk non. Bibi panggilin Tuan dulu.” Kata Bik Nah.

“Iya Bik, makasi.” Kata Resti.

Sambil menunggu Papa-nya, Resti memandang sekeliling rumah yang saat ini sedang didatanginya. Rumah besar nan megah, interior dan barang yang mewah. Menegaskan bahwa pemiliknya bukan orang biasa. Disini tinggal seorang pria yang berharga bagi Resti. Namun mengapa pria itu begitu tega membuangnya? Memisahkan mereka demi semua barang mewah ini? TEGA.

Ah, ada apa aku ini? Tujuanku kesini hanya untuk meminta bantuan, bukan menyesali semua. Kata Resti dalam hati

Ada apa kamu kemari?” suara berat itu memaksa Resti menoleh,

“Papa, Resti mau bicara sama Papa. Penting.” Kata Resti seraya berdiri dan menjabat tangan Papa-nya.

“Eit, jangan pegang tangan Papa. Langsung saja bicara pada intinya. Papa tak punya banyak waktu untukmu.” Kata Om Eko. Sungguh penyambutan yang mengenaskan bagi Resti. Ia sudah berusaha bersikap sopan.

“Resti butuh uang Pa. Untuk pengobatan mama. Sejak 2 bulan lalu mama dirawat di R.S Bakti.” Kata Resti tanpa basa-basi. Hatinya perih seketika melihat papa-nya. Mengapa beliau menjadi begitu ketus pada dirinya? Darah dagingnya sendiri.

“Apa urusan Papa dengan mama mu? Papa kira papa sudah tak mempunyai tanggung jawab untuk itu. Itu sudah bukan urusan Papa lagi.” Tutur Om Eko. Makin membuat Resti perih dan pilu.

“Itu masih urusan Papa. Kalo ada apa-apa sama mama, siapa yang membiayai dan merawat Resti dan Ortiz? Mama berarti buat kita Pa.” kata Resti menegaskan.

“Oh begitu. Sudah berani melawan papa kamu sekarang. Siapa yang mengajari mu seperti ini? Ini hasil didikan mama mu? Sungguh mengecewakan!” kata Om Eko, sedikit emosi.

“Bukannya Resti melawan, tapi Resti hanya meluruskan yang salah. Dan jangan salahkan mama, Resti sudah besar. Sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Tutur Resti.

“Kalo kamu memang sudah besar. Tunjukkan pada Papa. Bahwa kamu bisa tanpa bantuan Papa.” Tegas Om Eko, kini sudah tersulut amarah.

“Resti memang sudah besar. Tapi kali ini Resti butuh bantuan Papa. Butuh sekali.” Kata resti memohon. Tak ada cara lain selain ini, hanya ini jalan satu-satunya.

“Jangan bertindak layaknya orang munafik. Papa tak suka punya anak seperti itu.” Bentak Om Eko pada Resti. Resti hanya menahan pilu di hati.

“Resti mohon Pa. kalo Papa gak mau ngasih, Resti pinjam.Resti janji bakal balikin uang itu secepatnya.” Suara Resti terdengar memelas. Tapi hati Om Eko tetap batu, tak tergoyahkan sekalipun.

“Ah, sudahlah. Papa tak punya banyak waktu untukmu. Uang Papa lebih berharga dari pada kamu, mama mu dan adikmu.” Bentak Om Eko. Deg. Hati Resti seperti tersayat, bisa-bisanya beliau mengatakan itu.

“Pa. Papa sadar gak sama ucapan Papa barusan? Apa yang Papa bilang? Uang Papa lebih berharga dari kita semua? Iya? Itukah ucapan Papa tadi? Apa Resti salah denger.” Kata Resti, suaranya kini bergetar menahan tangis di pelupuk matanya.

“Ya, Papa sadar. Dan kamu memang tidak salah dengar. Papa sadar betul atas ucapan Papa tadi.” Sergah Om Eko, semakin membuat Resti benar-benar pilu.

“Pa. Aku ini anak papa. Ortiz juga. Kita lahir di dunia ini juga karena Papa. Kita darah daging Papa. Apa Papa setega itu menyakiti kita?” Tanya Resti setengah berteriak.

“Apa yang Papa lakukan? Papa tak menyakiti mu. Lihat kamu baik-baik saja kan?” jawab Om Eko, membentak.

“Dengan sikap Papa seperti ini, itu sama aja Papa buat kita sakit. Papa tega? Papa puas? Papa bahagia liat kita menderita? HA? Jawab Pa.” emosi Resti membuncah, tak dapat tertahan. Kata-kata sang Papa membuatnya hancur seketika. Dan. PLAAAAK.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Resti. Tidak begitu keras, tapi terasa menyakitkan.

“Sekarang kamu keluar dari rumah Papa. Papa gak sudi bertemu kamu lagi.” Bentak Om Eko.

Bik Nah yang mendengar pertengkaran antara keduanya hanya menatap Resti dengan pilu. Mengapa majikannya kini berubah?

“Enggak ! Resti gak mau keluar. Resti mohon Pa. Resti pinjam uang Papa. Resti janji bakal balikin uang itu.” Kata Resti memohon dan bersujud di hadapan papa nya.

“Resti, dengar Papa. Sekarang kamu keluar dari rumah Papa. Papa sudah bilang. Uang Papa lebih berarti dari kamu dan semuanya.” Bentak Om Eko, dengan menendang Resti yang tadi bersujud di hadapnya.

Om Eko naik pitam. Entah apa yang menguasai pikirannya saat ini. Dengan penuh amarah, ditariknya Resti dari ruang tamu menuju keluar halaman. Sekalipun Resti mencoba bertahan, tarikan Om Eko semakin kencang. Perbuatan yang tak seharusnya ia lakukan.

“Bik Nah.” Om Eko berteriak.

“Iya Tuan.” Jawab Bik Nah.

“Bawa pergi anak sialan ini. Bawa ia keluar dari rumah ini. Bersihkan ruang tamu yang najis karna anak ini. Dan ingat, jangan pernah bawa masuk anak ini ke rumah saya. Saya sudah tak sudi punya anak pembangkang seperti dia.” Tutur Om Eko, emosi membuncah. Memandang Resti seperti anjing memandang kucing.

“Pa, Resti mohon. Bantu Resti sekali ini aja. Resti mohon Pa.” butiran Air mata mengiringi suara Resti yang gemetar, memohon pada Papa-nya.

“PERGI kamu ! Saya tidak sudi punya anak seperti kamu ! jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Gelandangan.” Bentak Om Eko, langsung masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan permohonan Resti.

“Okeh Pa. Kalo Papa gak mau bantu Resti. Resti akan usaha sendiri. Tapi inget Pa, Resti, mama dan Ortiz bukan GELANDANGAN.” Teriak Resti lantang, terdengar dalam rumah besar didepannya.

“Sudah non. Sudah. Lebih baik non pulang aja. Tenangin diri.” Kata Bik Nah menenangkan.

“Iya bik, Resti pulang dulu Bik. Oh ya makasi Bik udah nemuin Resti sama Papa. Resti jadi tau sifat Papa sebenarnya. Permisi Bik.” Pamit Resti.

Dalam perjalanan pulang ini, Resti sangat kacau. Pikirannya tak sampai untuk memikirkan sikap Papa-nya sekejam itu, Ia berjalan limbung tak tentu arah. Ia juga tak yakin untuk pulang ke rumah. Dengan keadaan kacau seperti ini, ia tak mungkin pulang ke rumah. Yang ada malah memperumit keadaan yang sudah rumit.

“Loh, itu kan Resti? Ngapain dia jalan sendirian di tempat sepi gini?” Tanya Leta dari dalam mobil.

“Pak stop dulu pak.” Perintah Leta pada sopirnya.

“Resti.” Panggil Leta, tak jauh dari Resti. Mau tak mau Resti menoleh, untuk melihat orang yang memanggilnya.

Oh tidak, ada Leta. Kata Resti dalam hati. Ia tak mungkin menemui Leta. Ia tak sanggup untuk menceritakan semua pada Leta. Semua terlalu pilu dan memalukan. Resti mempercepat langkah untuk menghindari Leta. Leta makin yakin dan paham jika Resti sedang kacau. Ia akan bersikap seperti ini jika benar-benar kacau. Leta mengejar Resti, akhirnya ia sejajar dengan Resti.

“Res, kamu gak bisa boongin aku. Sekarang ikut aku ke rumah dulu.” Kini Leta yakin Resti sedang kacau ketika melihat Resti dengan mata sembab dan pipi basah.

Di rumah Leta. Resti merasa lega. Meski sempat ditahannya tadi, akhirnya Resti menceritakan semua pada Leta. Walau diiringi tangis pilu, Leta memaklumi keadaan Resti. Keadaan yang benar-benar sulit. Tiba-tiba ada satu ide Leta mencoba membantu Resti.

“Oh ya Res. Aku ad aide yang mungkin bisa bantu kamu saat ini. Tapi semua terserah kamu sih.” Kata Leta, mata Resti membulat seketika. Ia berharap bantuan Leta bisa membantunya saat ini.

“Apa Let? Apa pun itu, aku pasti mau Let. Asalkan halal dan aku mampu ngelakuinnya.” Tanggap Resti penuh semangat.

“Gampang kok. kamu bisa manfaatin bakatmu dan ini juga kerjaan halal.” Tutur Leta, makin membuat Resti penasaran.

“Bakat? Bakat apa? Kayaknya aku gak punya bakat deh. Ayo donk sebutin ide mu Let.” Kata Resti bingung.

“Tante ku kan pemilik dari Best Magazine, nah kebetulan dia lagi cari model remaja buat cover dan pemotretan di redakdinya. Dan kemaren aku disuruh beliau buat nyari model dari temen-temen kita. Udah ada sih yang aku rekomendasiin, tapi pada gak cocok semua. Gimana kalo kamu coba ikut audisinya? Aku yakin kamu lolos Res.” Tutur Leta, makin membingungkan Resti. Model? Emang dia bakat? Gak juga. Memang postur Resti yang tinggi semampai dan wajah manisnya gak jelek-jelek amat kalo buat cover majalah. Dia pun juga suka berfoto ria. Tapi? Ini jadi cover majalah ternama ? apa iya dia bakal lolos seleksi? Mustahil. Piker Resti.

“Ha? Model? Kamu yakin? Itu sih jauh diatas mungkin. Aku gak yakin lolos Let.” Tutur Resti.

“Ah, belom apa-apa udah nyerah. Udahlah coba dulu Res. Aku yakin kamu pasti lolos. Besok aku anter kamu kesana. Gak boleh nolak.” Ucap Leta memaksa.

“Ya udah lah, pasrah. Masalahnya aku gak punya baju yang bagus. Gimana tante mu bisa percaya kalo aku cocok jadi modelnya?” Tanya Resti, sedikit kecewa.

“Masalah baju gak usah khawatir. Tuh ada baju se almari siap dipilih. Udah lah pokoknya besok pulang sekola kita langsung cabut ke kantor tante ku.” Tegas Leta. Resti hanya mengangguk pasrah.

“Are you ready?” tanya Leta, melirik ke arah Resti yang telah berubah.

“Yes, I’m ready” jawab Resti mantab.

Dalam perjalanan, Resti komat-kamit. Semoga ia bisa dapatkan pekerjaan ini. Ia benar-benar butuh uang,

“Tante, lihat nih. Leta bawa temen Leta lagi. Dijamin pasti cocok.” Sapa Leta sesampainya di ruang kerja Tante Sari, tantenya.

“Wah, cantik banget temenmu ini. kayaknya dia cocok deh. Ayo langsung kita coba audisinya. Kebetulan belum ada yang audisi hari ini.” kata tante Sari terkagum-kagum.

Sesi audisi foto telah usai, tinggal penilaian dari Tante Sari yang menentukan.

“Semua criteria sudah pas. Dan ini lebih dari cukup. Selamat Resti, kamu bisa jadi cover model sekarang.” Tutur tante Sari.

“Trima kasih banyak tante. Saya akan bekerja sebaik mungkin.” Tutur Resti.

Akhirnya ia , mendapat pekerjaan juga. Walau awalnya ragu, tapi apa salahnya mencoba? Toh dia juga membutuhkannya. Dan kebetulan ia bisa menjalaninya.

Kontrak pemotretan selama 2 tahun sudah ditanda tangani Resti. Kini ia tinggal menyusun jadwal agar tak menganggu sekolahnya. Semua terasa begitu mudah sekarang. Walau seribu rintangan telah hadir di awal.

1 tahun kemudian…

“Kakak, ini hadiah buat kakak. Selamat ulang tahun kak. Oh ya ini juga ucapan selamat karna kakak dapet peringkat pertama lagi.” Kata Ortiz penuh tawa.

“Iya Res, mama juga ucapin selamat ulang tahun dan selamat meraih peringkat pertama lagi. Terus rajin belajar. Ini hadiah buat kamu.” Ucap tante Rina tak kalah bahagia.

Sebulan setelah Resti bekerja, akhirnya tante Rina siuman. Memang tak bisa langsung dibawa pulang, tapi seminggu setelah siuman akhirnya keadaan tante Rina pulih total.

Dan kini kehidupan Resti sekeluarga telah berubah. Semenjak Resti menjadi model, ia bisa mencukupi semua kebutuhan keluarganya. Kini pun mereka sudah memiliki tempat tinggal baru, yang lebih layak huni.

Tak berhenti sampai disitu saja. Kini Resti juga kebanjiran job pemotretan. Beberapa sempat ditolaknya, karena bertabrakan dengan Ujian sekolah. Tapi kini ia mendapat banyak tawaran. Banyak sekali yang memuji Resti sejak kehadirannya di Best Magazine.

“Makasi ma , Ortiz. Sekarang giliran Resti yang traktir kalian. Yuk kita makan diluar.” Ajak Resti

Dalam perjalanan menuju restoran, mereka bersenda gurau didalam mobil. Hingga tiba-tiba…..

“Pak, berhenti.” Perintah tante Rina pada pak sopir.

“Ciiiiiiiiiiiiit.” Decitan mobil terdengar keras.

Ada apa sih ma? Kita kan belom nyampe. Lagian jalanan ini kan sepi.” Tanya Resti, heran.

“Res, kayaknya mama ngenalin orang itu.” Kata Tante Rina, sambil menunjuk kea rah pemulung yang sedang mengorek bak sampah.

“Ih mama ngaco deh. Dia kan pemulung. Ya bukannya sombong sih. Tapi di rumah yang dulu tetangga kita gak ada yang jadi pemulung ma. Paling parah jual asongan.” Tutur Resti, masih tak tahu apa maksud mama nya.

“Dia bukan tetangga kita, tapi dia keluarga kita.” Tutur tante Rina. Kini Ortiz angkat bicara,

“Itu bukan om Siwa kan?” tanya Ortiz.

“Memang bukan, tapi dia Papa kalian.” Kata tante Rina, seraya dengan menolehnya pemulung tadi ke jendela mobil Resti.

Sontak Resti terkejut. Ya, itu memang papa nya. Beliau menjadi gelandangan sekarang, Apa itu karma untuk beliau? Tanya Resti dalam hati. Tapi ia enggan untuk bertemu, sakit hati nya dulu masih belum bisa terobati. Dan takkan pernah.

“Pak kita jalan lagi.” Perintah Resti pada Pak sopir.

Dari luar mobil. “Resti.” Om Eko terkejut melihat seseorang yang ada dalam mobil itu. Ternyata benar, anak yang dulu dibuangnya kini telah meraih sukses. Resti di televise itu memang Resti, anaknya. Dengan bergegas, Om Eko menghampiri mobil Resti. Sudah lama ia mencari. Tapi ia tak pernah temukan. Resti sekeluarga memang pindah rumah. Dan Resti sengaja menyembunyikan identitas barunya kepada sang Papa. Semua orang telah diwanti-wantinya agar tak memberitahu papa nya.

“Resti tunggu nak. Ini papa.” Om Eko berteriak di samping mobil.

“Pak ayo kita jalan.” Perintah Resti lagi.

“Berhenti pak.” Perintah tante Rina lebih tegas.

“Resti, dia itu papa mu. Apa kamu tega berbuat semacam itu? Tak seharusnya kamu bertindak seperti itu.” Kata Tante Rina sambil keluar dari mobil menarik tangan Resti. Ortiz hanya diam, mengikuti dari belakang.

‘Mas Eko. Mengapa keadaan mas jadi seperti ini? apa yang terjadi?” tanya Tante Rina lembut.

“Maaf kan aku Rin. Maaf kan Papa juga nak.” Kata Om Eko bersujud di hadapan mereka.

“Mas. Sudahlah, yang lalu biarkan berlalu. Ayo mas ikut kita saja. Kebetulan hari ini Resti genap berusia 15 tahun” ajak Tante Rina. Mendengar itu Resti langsung gusar.

“Ma. Mama apa-apaan sih? Siapa dia? Resti gak kenal. Mama inget kan, Papa Resti udah mati, Papa Resti bukan dia. Dia sudah lama mati Ma. Kenapa mama akui dia Papa Resti?” Kata Resti gusar.

“Resti. Maafkan papa nak. Papa tau papa salah. Papa khilaf. Papa mohon ampun mu nak. Maafin papa.” Mohon Om Eko bersujud dihadapan Resti.

“Papa? Maaf, anda jangan mengada-ada. Papa saya sudah lama mati setelah ia membuang kami. Jadi saya harap anda pergi.” Ucap Resti kasar. Dia sadar tak sepantasnya ia bertindak demikian. Tapi hatinya sudah tak bisa menerima beliau. Kata maaf kan percuma diucapkan. Resti hanya menyimpan Papa nya sebagai kenangan masa lalu yang tlah hilang.

“Udah ma. Ayo kita pergi. Gak penting urusin orang sok kenal ini.” ajak Restu pada mama dan Ortiz.

“Resti. Kasar sekali bicara mu.” Kata tante Rina setengah membentak.

“Ma, udah cukup sakit ati Resti dan Ortiz. Harusnya dia ngerti. Harusnya dia sadar. Harusnya dia juga tau diri. Dan harusnya dia gak egois. Apa maksud dia ngebuang kita demi harta? Apa maksud dia gak mau anggep aku dan Ortiz sebagai anaknya? Sekarang pas aku udah sukses, seenaknya dia balik dengan kondisi menyedihkan kayak gini. Apa maksudnya? Dia Cuma ngincer harta ma. HARTA. Dia gak tau arti menyayangi dan disayangi. Dia gak punya ati. Dia batu. Dia kejam.” Tutur Resti menunjuk kearah papa nya, berlinangan air mata.

“Mama tau kamu marah. Mama tau kamu kesal. Dan mama juga tahu kamu benci, tapi lihat, papamu sudah berubah. Mama bisa lihat itu.” Jawab Tante Rina menenangkan.

“Mama jangan percaya sama dia. Dia munafik. Dia pengkhianat. Dia gak tanggung jawab. Resti gak percaya dia sadar. Dia bukan siapa-siapa Resti lagi. Dan Restii gak mau kenal orang macam dia. GAK AKAN PERNAH MA.” Tutur Resti, makin sesenggukan.

“Resti maafin Papa nak. Papa sudah keterlaluan sama kamu. Kini Papa mohon terima Papa lagi. Papa janji tak akan mengulangi lagi,” tutur Om Eko. Kini ia mengerti betapa sakit dan pilu nya hati Resti saat ia mengusirnya dulu. Terasa sakit dan memilukan. Semua daya dikerahkan Om Eko agar maaf itu terucap dari mulut anaknya dan ia bisa menerimanya lagi. Om Eko tak sanggup lagi kehilangan keluarga ini.

“Segampang itu anda meminta maaf? Anda sudah mendengar kan bahwa tak ada kata maaf bagi anda. Dan anda tidak lupa kan kalau saya bukan anak anda lagi. Saya hanya seorang gelandangan yang munafik . untuk apa sekarang anda mengakui saya anak anda? Apa anda tak malu mempunyai anak munafik dan gelandangan?” Tanya Resti mengejek. Setiap kata yang diucapkan keluar begitu saja. Resti kesal menghadapi papa-nya hingga ia tak kuasa menumpahkan emosi yang tertahankan dulu.

“Maaf nak. Maafin papa.” Hanya itu kata dari Om Eko.

“UDAAAAAAAAAAAAH. STOOOOOOOP. PAPA PERGIIIII. RESTI GAK MAU KETEMU PAPA. RESTI BENCI PAPA. RESTI GAK PUNYA PAPA. RESTI GAK BISA MAAFIN PAPA. RESTI BENCI PAPA. PERGIII. JANGAN GANGGU KITA PA. KITA UDAH BAHAGIA TANPA PAPA. KALO PAPA SENGSARA SEKARANG ITU KARENA ULAH PAPA YANG BODOH DAN MARUK. “ teriak Resti penuh emosi. Semua yang ada terkejut melihat Resti kalap. Resti tak tahan melihat Papa nya. Sampai saat ini ia masih belum bisa memaafkan Papa nya. Mungkin bisa dimaafkan, tapi semua butuh proses. Sama seperti proses Om Eko untuk sadar.

Tanpa memperdulikan Om Eko. Resti, Ortiz, dan Tante Rina masuk kembali dalam mobil. Tante Rina tak tega melihat Resti. Beliau merasa bersalah telah memaksa Resti menerima Om Eko lagi. Kini ia sadar, Resti masih butuh waktu untuk menerima Om Eko lagi. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah.

Saat mobil baru akan melaju, Resti tiba-tiba membuka pintu mobil. Dan berteriak.

“AKU BENCI PAPA. AKU MARAH. TAPI AKU SAYANG PAPA. AKU KANGEN PAPA. TAPI TOLONG PAHAMI RESTI, RESTI BUTUH WAKTU UNTUK MAAFIN PAPA. SEMUA GAK SEMUDAH YANG PAPA KIRA.” Resti meluapkan emosi.

Setelah itu Resti masuk kembali ke dalam mobil. Menangis sejadi-jadinya dalam dekapan Tante Rina.

Kini Resti telah berhasil membuktikan pada Papa nya. Bahwa ia bisa sukses tanpa beliau. Ia sudah buktikan itu. Dan Resti berjanji sejak saat itu. Ia pasti menerima papa nya kembali, namun ia masih butuh waktu untuk menyembuhkan sakit hatinya. Ia akan hidup bahagia lagi bersama mama papa nya.


Nanti....